Rabu, 15 Desember 2010

Ibu Tak Berangkat

KAU sedang berada di pekarangan ru­mah ibu. Sebuah tempat yang pa­ling kau suka setiap kali kemba­li ke rumah itu. Entah sekadar sing­gah dari sebuah perjalanan tugas atau saat kau bawa istri dan anak-anakmu mudik mengunjungi ibu di kampung halaman.

Sebuah pekarangan yang senantiasa mengha­dirkan jejak masa kanak-kanakmu. Membelah ke­nangan menjadi penggalan-penggalan, yang setiap irisannya membawamu kembali mene­lusuri perjalanan masa silam, yang seakan ter­perangkap di pekarangan itu. Seakan tak ada yang benar-benar berubah di sana.

Lihatlah, pohon ketapang yang rantingnya ber­cabang menjalar ke empat arah itu, tetap tegak di sudut barat daya pekarangan. Helai-he­lai daunnya yang lebar, sebagian berwarna me­rah saga, adalah daun dengan merah yang sa­ma, yang dulu sesekali menjatuhimu saat kau ber­main gundu di keteduhan pohon itu.

Kau tak lagi bermain gundu sekarang, keah­lian meluncurkan bola kaca kecil itu menghantam gundu lawan-lawanmu, telah menghilang da­rimu. Tak lagi luwes jemarimu mengarahkan­nya serupa peluru. Kini kau kembali berada di ke­teduhan pohon ketapang itu, sembari menik­mati koran pagi dan secangkir teh hangatmu yang mulai dingin.

Lalu kau dengar sesuatu.

''Berapa ongkos naik haji sekarang?'' Ibumu bertanya. Ringan nada katanya serupa pertanyaan yang diucapkan sambil lalu. Apalagi ka­re­na ibu melakukannya sembari napeni. Menyingkirkan kulit gabah dan kerikil yang terba­wa butiran beras.

''Entahlah, barangkali sejumlah...,'' kau se­butkan sejumlah angka perkiraan.

''Benar sejumlah itu?'' Ibumu mendadak an­tu­sias, dihentikannya gerak mengayun tampah.

''Ibu ingin berangkat?'' Kau mendadak berdebar dengan pertanyaan itu. Pertanyaan yang mem­bawamu pada suatu kalkulasi, perhitu­ngan, dan pertimbangan ini itu.

''Tentu saja, siapa yang tidak?''

Ada cahaya samar-samar berkelip pada sirat ma­ta ibumu. Terlihat jelas olehmu harapan yang tersimpan di dalamnya. Seolah-olah kau me­lihat bayang keagungan Kakbah, antara men­jauh dan mendekat berganti-ganti. Panggilan doa bergema pada dinding-dinding liang dengarmu.

''Kalau bagus hasil panen nanti, agaknya cu­kup untuk menggenapi saldo tabungan sejumlah ongkos itu. Insya Allah Ibumu ini akan be­r­angkat.''

Ibumu bergumam halus. Kehalusan suara itu le­bih mirip angin yang terdesir di antara batang-batang padi yang tumbuh di sebidang sawah warisan mendiang ayahmu. Dari kejauhan de­siran itu berasal, namun menghampirimu hing­ga sedemikian dekat.

''Insya Allah, Tuhan meridhoi niat mulia. Amin,'' ucapmu mengamini.

Desir angin dari kejauhan itu, mendesirkan ha­timu, menyadarkanmu bahwa sejauh ini telah kau abaikan sesuatu. Yang satu itu luput dari per­hatianmu, terlipat di antara pantauan pada kesehatan dan hal-hal material yang le­bih tampak.

Kau simpan desiran itu, rapi terbungkus dalam ingatan, seumpama bekal yang kau bawa saat kau pamit pada ibumu selepas tengah hari itu. Selembar daun ketapang warna saga melayang sesaat dan rebah di ujung kakimu ketika kau tinggalkan pekarangan rumah ibu.

***

Kau rebahkan dirimu. Bilah-bilah cahaya ma­tahari yang menembus partisi jendela, menam­pakkan partikel debu yang menari-nari dalam cahaya itu. Kau hela napas, tanpa hirau par­tikel lembut itu memasuki liang napasmu.

''Ada apa?'' istrimu bertanya. Agaknya ke­peka­annya menangkap sesuatu yang tak biasa pada tarikan napasmu yang berat itu.

Lagi napasmu terhela, sebelum kau jawab per­tanyaan istrimu dengan pertanyaan yang berbeda.

''Kapan batas waktu pembayaran tanah itu?''

''Akhir bulan depan,'' istrimu menjawab de­ngan mata bertanya.

''Seandainya kita tunda pembelian tanah itu, apakah kau keberatan?'' tanyamu menerawang.

Teringat olehmu saat pertama kali menemukan sebidang tanah itu. Dengan sepeda kau te­lusuri jalan desa itu, sebuah rute yang tak kau ren­canakan. Saat itu kau hanya bosan dengan rute yang biasa kau lalui. Jarak tempuh dan si­tuasi perjalanannya tidak lagi memberikan tan­tangan karena medan itu telah kau kuasai. Tak lagi terpicu sama sekali andrenalin di dalam dirimu saat menaklukan tanjakan-tanjakan­nya. Maka pagi itu kau arahkan sepedamu tanpa rancangan sebuah arah. Kau hanya me­nga­yuh seakan membiarkan kemudi sepeda men­cari arahnya sendiri. Berbelok acuh saat melalui persimpangan, menambah kecepatan di jalur lurus dan terengah saat melaui tanjakan. Dan kau temukan sebidang tanah di ujung itu. Atau sesungguhnya kau tersesat? Tanpa pertim­bangan kau memilih sebuah jalan kampung, lambat roda sepedamu menggelinding menelusuri jalan tanah yang membelah ladang temba­kau. Lalu kau terhenti, tak ada lagi jalan setapak se­telah itu.

Baru saja kau memutar balik arah sepedamu ke­tika seseorang menghampirimu, menyangka bahwa kau tertarik dengan sebidang tanah yang akan dijualnya itu. Maka kau pun terperangkap untuk berbasa-basi.

Namun ternyata tanah berilalang itu me­ngi­kat hatimu.

''Letaknya di ujung, dengan kontur yang agak me­nanjak, berseberangan dengan ladang tembakau. Luasnya 200 meter, harganya bisa dine­gosiasi,'' kau jelaskan dengan antusias pada istrimu. Antusiasme yang bernada bujukan.

''Tabungan kita cukup untuk melunasinya.''

''Tapi sesudah itu kita tak punya tabungan lagi,'' kata istrimu bimbang.

''Tentu akan ada rezeki lagi. Bisnis tak berhenti, pastilah rezeki tersedia bagi para pencari­nya,'' katamu sepenuh keyakinan, yang dengan segera menghentikan kebimbangan istrimu.

Tersimpan dalam ingatanmu, semburat yang me­ronai paras istrimu. Antara takjub dan ­angan yang melambung saat kalian meninjau tanah itu.

''Apakah setuju bila menjadikannya sebagai ru­mah akhir pekan?'' begitu istrimu berkata di antara gelembung-gelembung harapannya. ''Kita bagi lahan ini menjadi dua. Seratus meter untuk koleksi tanamanmu, selebihnya untuk ruang baca dan buku-buku?''

Pembagian yang adil. Tentu kau setuju. Dan ber­temulah kalian dengan pemilik lahan untuk bernegosiasi.

Dan di sinilah kau sekarang, menawarkan alternatif bagi istrimu untuk membatalkan pengambil-a­lihan lahan itu, justru setelah negosiasi harga dengan pemiliknya berhasil ter­sepakati.

''Mengapa?'' kau dengar lirih suara istrimu.

Kau berpaling, tak hendak menatap mata istrimu. Ah, tepatnya tak sanggup. Karena kau tahu akan mendapati luruhnya angan yang telah melangit. Angan yang kau lambungkan, dan ki­ni kau hempaskan pula.

''Ibu ingin naik haji, kupikir itu sebuah keinginan yang layak diprioritaskan,'' nada ka­tamu hati-hati. Kehati-hatian yang kau lakukan demi supaya tidak mengesankan bahwa kau lebih mengutamakan seorang daripada yang lain apalagi mengesampingkan yang satu da­ri lainnya.

''Kalau demi ibadah itu, tentu aku setuju,'' se­ru istrimu.

Dan kau terkejut mendapati tiadanya sirat ke­kecewaan pada suara itu. Bahkan suara itu le­bih serupa seruan yang menyatakan kelegaan.

''Ibadah perjalanan menuju rumah Allah ten­tulah lebih utama dari rumah mana pun. Apalagi ibadah seorang ibu. Rumah akhir pekan kita tentu bisa menunggu.''

''Sungguh?'' kau bertanya meyakinkan.

Istrimu mengangguk. ''Seperti yang kau katakan, bahwa rezeki akan tersedia bagi para pencarinya. Pastilah Allah tak alpa menyediakan rezeki bagi mereka yang ikhlas demi bak­ti pada ibunya. Bukankah begitu?''

Seketika keharuan itu mendatangimu, menghangatkan hati. Dan kau temukan bahwa angan yang melangit itu tak luruh dari paras istrimu. Gurat wajahnya tetap menampakkan harapan yang terpeta jelas, yang seakan memberimu ja­lan untuk mencapainya.

***

Pagi menjelang siang saat telepon itu mengejutkanmu.

''Ibu tak berangkat,'' kau dengar ibumu berkata. Tak begitu bagus sambungan telepon itu, se­hingga seakan-akan suara itu terdengar dari ke­jauhan, nyaris sayup, namun tertangkap oleh­mu getar yang menyertainya.

''Mengapa, Ibu? Apakah terjadi sesuatu?'' tak mampu kau tutupi rasa terkejut terpadu khawa­tir dalam dirimu.

''Ada peraturan baru yang tak mengizinkan ca­lon haji perempuan berusia 65 tahun untuk berangkat,'' melirih suara ibu ''Akhir tahun la­lu usia Ibumu ini sudah menjelang 70.''

Sesuatu menikam hulu jantungmu.

Kau tercekat. Lirih suara itu, kau tahu bukan karena suara itu berasal dari kejauhan sekian ribu kilometer darimu berada, melainkan kare­na luruhnya harapan yang tersimpan di dalam di­ri ibumu.

Lirih suara itu mendekatkanmu pada suatu ba­yang-bayang, seolah dirimu berdiri di hadapan sebuah dinding berbata merah. Kau aduk pa­sir dan semen untuk melapisi batu itu. Kau la­kukan dengan rapi, polesanmu halus merata hing­ga dinding itu tertutup sempurna, ujung-ujung­nya membentuk siku 90 derajat. Namun tepat saat kau sapukan kayu penghalus sebagai penghalusan akhir, saat itulah curah hujan meng­guyur deras. Luruh seketika adonan pasir dan semen yang belum sempat mengeras. Se­akan dinding itu mencair, lapisan yang meluruh menampakkan kembali susunan bata yang se­harusnya diselimutinya, dan lapisan itu menggenang bersama curah hujan serupa lumpur.

Demikianlah harapan itu luruh. Tidak hanya di dalam diri ibumu, melainkan di dalam dirimu juga.

Regulasi peraturan haji. Pemerintah Arab Sau­di telah menetapkan untuk tidak menerima ca­lon haji perempuan yang telah berusia 65 ta­hun. Begitulah ketika negara mengambil alih hak seseorang untuk beribadah dan menjadikan pro­sesi ibadah sebagai monopoli sebuah negara.

''Ibu, maaf...,'' tak selesai kalimatmu yang ter­ucap dengan bergetar itu. Sedemikian sesak dadamu, terhimpit beban penyesalan yang meng­hampirimu seketika.

''Tidak apa-apa. Kalau belum ada ridho Allah un­tuk niat ibadah Ibu kali ini, barangkali kare­na Allah memiliki rencana lain. Ibu ikhlas.''

Kalimat itu menghangatkan hatimu sekaligus meneguhkan keberadaan ibu yang serupa tiang bagimu. Penyesalan itu membebanimu, dan tiang keikhlasan ibu menjadi sandaranmu.

Namun tak tercegah ketika ingatan tentang tahun-tahun yang telah berlalu mendatangimu. Tahun-tahun berisi kesempatan-kesempatan yang telah kau lewatkan tanpa usaha yang cu­kup berarti untuk memberangkatkan ibu dalam per­jalanan ibadah mengunjungi rumah Allah.

Tahun-tahun yang tak akan pernah kembali.

Setengah hati terhela napasmu. Tak tahu hen­dak ke mana akan kau letakkan kesedihan dan penyesalan yang membebanimu.

Lalu kau ingat film itu. Pada sebuah film Ko­rea, seorang serdadu menemukan dirinya men­jadi bagian dari pemerintah Jepang yang justru se­dang menjajah negaranya. Saat menelusuri se­jarah masa lalunya, serdadu itu mendapati bahwa di masa lalu dirinya gagal menunaikan tu­gas negara sehingga bangsanya di masa kini te­tap berada dalam kekuasaan penjajah. Dalam penyesalan itu mendadak terjadi keajaiban fenomena alam yang memungkinkan serdadu itu kembali pada sebuah masa silam. Itu adalah masa lalu tepat saat dia melaksanakan tugas ne­gara yang gagal itu. Maka diraihnya kesempatan kedua itu, diperbaikinya kesalahan diri hing­ga kegagalan itu tak terulang. Akhirnya ser­dadu itu berhasil menunaikan tugasnya dan negaranya di masa kini adalah negara yang mer­deka. Di kemudian masa, anak-anak bang­sa itu mengenang serdadu itu sebagai seorang pahlawan yang gugur demi kemerdekaan ne­garanya. Gambar dirinya terpajang di museum dan kisahnya menjadi teladan kepahlawanan yang dituturkan dari satu generasi ke gene­rasi berikutnya.

Itu film. Di kehidupan nyata akankah kau te­mukan terulangnya sebuah peluang untuk menebus kealpaan masa lalu? Akankah kesempatan yang terlewat itu kembali, hingga kau bisa memberangkatkan ibumu menunaikan perjalanan ibadah mengunjungi rumah Allah se­belum usia 65 tahun?

Pohon ketapang yang tegak berdiri di barat da­ya pekarangan rumah ibu, seakan memerang­kap seluruh masa silammu. Tahun berlalu sementara, gugur daun merah saganya silih bergan­ti dengan tunas daun baru hingga kini.

Apakah salah satu kesempatan itu juga sekadar terperangkap, dan akan kembali mendata­ngimu pada suatu ketika nanti ?


-Sanie B. Kuncoro-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar